Berbicara tentang mentawai memang tidak akan lengkap tanpa membicarakan 4 jenis primata endemik yang mendiami pulau-pulau di dalam gugusan kepulauan mentawai itu sendiri. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa 4 primata endemik tersebut adalah ikon keanekaragaman hayati mentawai yang tak dapat dijumpai di belahan bumi lainnya. Jenis-jenis primata tersebut adalah Joja (Presbytis potenziani), Bilou (Hylobates klosii), Bokkoi (Macaca pagensis) dan Simakobu (Simias concolor). Nama terakhir adalah jenis yang mendapat perhatian paling serius dari berbagai kalangan peneliti. Hingga saat ini berbagai macam judul penelitian tentang Simakobu telah digagas dan dilaksanakan dalam rangka untuk mengetahui berbagai aspek peri kehidupan dari spesies monyet yang juga dikenal dengan nama pig tail monkey.
Mengapa harus Simakobu? Alasannya jelas bukan karena satwa ini memiliki morfologi dan warna yang mempesona seperti halnya Joja atau karena suaranya yang mengagumkan seperti Bilou, akan tetapi oleh karena keunikan kedudukan monyet berhidung pesek ini pada susunan taksonomi dunia primata dan karena status populasinya yang paling mengkhawatirkan. Simakobu adalah spesies monoleptik yang artinya hanya ada satu jenis primata saja yang ada pada tingkat genus (jenis tunggal) yang dengan kata lain simakobu tidak memiliki ‘saudara’ dalam marganya. Hal tersebut tentu saja membuat jenis ini menjadi sangat berharga dalam hirarki dunia primata. Russel A. Mittermeier, Presiden Conservation International (CI) juga menambahkan bahwa Simakobu merupakan satu-satunya monyet pemakan daun yang mempunyai ekor melingkar pendek dan mempunyai hidung tumpul seperti halnya monyet emas atau monyet berhidung pesek (Rhinopithecus) yang dijumpai di Cina dan Vietnam.
Nama genus Simias yang disandang oleh Simakobu oleh Groves dalam Wilson dan Reeder (1993) dikatakan bahwa kemungkinan nama tersebut identik dengan nama Nasalis yang dimiliki oleh bekantan (Nasalis larvatus) yang ada di Pulau Kalimantan. Akan tetapi apabila diperbandingkan dengan morfologi Bekantan yang eksotis dengan hidungnya yang mancung dan ekor panjangnya, terlihat perbedaan yang begitu signifikan dan mencolok dengan yang dimiliki oleh Simakobu. Oleh karena itu, sampai saat ini klaim yang menyatakan bahwa Bekantan adalah saudara dekat Simakobu pada tingkat genus masih menjadi pertanyaan dan bahan diskusi yang belum mencapai kata sepakat di antara kalangan ahli taksonomi.
Terlepas dari itu, faktor lain yang menjadi pertimbangan mengapa jenis monyet ini begitu penting adalah karena statusnya yang oleh IUCN di dalam list merahnya dikategorikan sebagai spesies terancam punah (Endangered). Bahkan Jatna Supriatna, Wakil Presiden CI Indonesia menambahkan bahwa berdasarkan hasil workshop para ahli primata seluruh Asia yang tergabung dalam IUCN-Species Survival Commission (SSC)-Primate Specialists Group, disimpulkan bahwa status beberapa jenis primata di Kepulauan Mentawai ditingkatkan kategorinya menjadi lebih tinggi. Simakobu ditingkatkan dari status endangered menjadi critical endangered, yang bermakna spesies itu lebih terancam kepunahan dibandingkan dari sebelumnya. Ini merupakan sebuah perkembangan yang sangat tidak menggembirakan bagi upaya konservasi satwa endemik di Indonesia. Hal tersebut juga bermakna bahwa kita harus mempunyai strategi untuk melestarikan spesies ini untuk menghindarinya dari kepunahan.
Hal apa yang membuat keberlangsungan hidup simakobu menjadi begitu terancam? Salah satu hal yang sering menjadi masalah adalah perburuan primata oleh masyarakat tradisional setempat. Aktifitas perburuan yang masih terus terjadi merupakan bahaya laten paling besar dan berdampak langsung terhadap tingkat mortalitas dalam dinamika populasi Simakobu. Perburuan primata Mentawai sebagai sumber protein bagi masyarakat tradisional adalah mimpi buruk bagi kelestarian Simakobu sekaligus menyumbangkan daya rusak paling besar. Beberapa spesies primata Mentawai lain seperti Bokkoi atau Monyet mentawai mungkin bisa bertahan tetapi tidak dengan Simakobu. Menurut hasil pengamatan dari para ahli, Simakobu—yang warnanya gelap dan tampak ‘bodoh’ ini— selalu ingin melihat bentuk ancaman, sehingga tidak melarikan diri ketika melihat orang, dan menyebabkan satwa ini mudah sekali diburu. Umumnya primata yang sering diburu akan lebih "alert" melihat manusia, tetapi tidak terjadi dengan Simakobu. Akibatnya populasi Simakobu menurun drastis. Kita dengan mudah menjumpai tengkorak Simakobu yang dipajang di pondok-pondok hutan masyarakat adat.
Lantas apakah masih ada harapan untuk menyelamatkan spesies unik-endemik yang nasibnya seolah berada di ujung tanduk ini? Jawabnya tentu saja ada. Taman Nasional Siberut sebagai satu-satunya kawasan hutan konservasi terbesar sekaligus habitat terluas bagi primata endemik mentawai memainkan peranan sentral terhadap masa depan Simakobu. Sampai saat ini memang masih belum diketahui berapa luas areal minimum yang dibutuhkan untuk mempertahankan populasi Simakobu yang sehat dan berkelanjutan dalam jangka waktu panjang. Namun untuk sementara ini, 190.500 Ha luas kawasan Taman Nasional Siberut yang sebagian besar ekosistemnya masih didominasi oleh hutan primer dan relatif masih terpelihara merupakan benteng terakhir bagi pelestarian primata mentawai. Tentu saja pihak Balai Taman Nasional Siberut sebagai representasi dari keberadaan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia harus memahami tugas yang diemban untuk mempertahankan aset dunia yang oleh UNESCO juga ditetapkan sebagai zona inti dari cagar biosfer Siberut. (Nevridedi Endri, S.Hut./ PEH pada Balai Taman Nasional Siberut)